cover
Contact Name
Nur Hamid
Contact Email
elnur.hamid@walisongo.ac.id
Phone
+6285733036860
Journal Mail Official
ihyaulumaldin@walisongo.ac.id
Editorial Address
Kantor Pascasarjana, Jalan Walisongo Nomor 3-5, Kota Semarang 50185, Jawa Tengah, Indonesia
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din
ISSN : 14113708     EISSN : 25805983     DOI : -
International Journal IhyaUlum al-Din is an Indonesian journal of Islamic Studies published biannually by the State Islamic University (UIN) Walisongo Semarang Indonesia. The journal was firstly published in March 2000, presented in three languages (English, Arabic, and Indonesian). The journal focuses on Islamic studies with special emphasis on Indonesian Islamic original researches.
Arjuna Subject : -
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 2 (2016)" : 12 Documents clear
DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA PENGANUT ISLAM ABOGE DENGAN UMAT ISLAM LAINNYA DI KABUPATEN BANYUMAS Sodli, Ahmad
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.718 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1738

Abstract

This article is a study of the relationship between Islam Aboge with other Muslims. There is a significant difference between the two groups, namely the calculation of the date, month and year. The Islamist Aboge uses the Aboge Almanac which is not the same as the Hijri almanac. The implication is the determination of Eid al-Fitr and Eid al-Adha, which is never in conjunction with Muslims in general, either using the method of rukyat or hisab. However, their relationship remains harmonious. The relationship between the two is seen in the activities of worship and social life. They understand each other and understand their beliefs. The interactions between Aboge adherents and and other Muslims take places in many sites, such as village hall and fields. Factors supporting the harmonious relationship between the two groups are religious understanding, joint activities, and tolerance.---Artikel ini merupakan kajian tentang hubungan antara aliran Islam Aboge dengan umat Islam lainnya. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara dua kelompok tersebut, yaitu mengenai parhitungan tanggal, bulan dan tahun. Aliran Islam Aboge menggunakan Almanak Aboge yang tidak sama dengan almanak Hijriah. Implikasinya, penentuan Hari  Raya Idul Fitri dan Idul Adha tidak pernah bersamaaan waktunya dengan umat Islam pada umumnya, baik yang menggunakan metode perhitunga rukyat atau hisab. Namun begitu, hubungan mereka tetap harmonis. Hubungan antara keduanya terlihat pada kegiatan ibadah, sosial keagamaan, dan sosial kemasyarakatan. Mereka sudah saling mengerti dan memahami keyakinan masing-masing. Tempat yang sering menjadi ajang interaksi antara penganut aliran Aboge dan masyarakat diluar Aboge yaitu tempat-tempat yang dipakai untuk kegiatan bersama, seperti balai desa, pendopo RT atau RW dan sawah atau ladang. Faktor pendukung hubungan yang harmonis antara kedua kelompok tersebut, antara lain paham keagamaan, kegiatan bersama, dan toleransi.
MEMAHAMI KEMBALI PEMAKNAAN HADIS QUDSI Idris, Abdul Fatah
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (329.732 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1734

Abstract

The scholars of hadith have different viewpoints in understanding the meaning of hadith Qudsi. The differences are affected by understanding of the concept of hadith Qudsi that is the the word of Allah conveyed through the words of the Prophet Muhammad. However, Hadith Qudsi is not like the Qur'an. This article will briefly show an understanding of hadith Qudsi and the Qur'an; and hadith Qudsi and Hadith Nabawi. The author agree with a view of the scholars of hadith who says that, the Hadith Qudsi is a special Hadith verbalized by Prophet both meaning and pronunciation. Therefore, there are no differences between Hadith Qudsi and the sayings of the Prophet in general. The Prophetic Hadith is classified into authentic hadith, hasan and da’eef; can also be found in hadith Qudsi. There may be some differences, in which Hadith Qudsi is not wider than Hadith Nabawi. Hadith Qudsi is not direct words of God, but only the ideas and then verbalized by the prophet himself.---Para ulama hadis memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami makna hadits Qudsi. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman konsep hadis Qudsi yaitu firman Allah yang disampaikan melalui firman Nabi Muhammad SAW. Namun, Hadis Qudsi tidak seperti Alquran. Artikel ini akan secara singkat menunjukkan pemahaman tentang hadits Qudsi dan Alquran; Dan hadis Qudsi dan Hadis Nabawi. Penulis setuju dengan pandangan para ulama hadis yang mengatakan bahwa, Hadis Qudsi adalah Hadis khusus yang diucapkan secara verbal oleh Nabi baik makna maupun pengucapannya. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara Hadis Qudsi dan perkataan Nabi pada umumnya. Hadis Nabi diklasifikasikan ke dalam hadits, hasan dan da'eef yang otentik; Bisa juga ditemukan dalam hadis Qudsi. Mungkin ada beberapa perbedaan, di mana Hadis Qudsi tidak lebih luas dari Hadis Nabawi. Hadits Qudsi bukanlah kata-kata langsung dari Tuhan, tapi hanya gagasan dan kemudian diucapkan secara verbal oleh nabi sendiri.
KELUARGA SAKINAH: KONSEP & POLA PEMBINAAN Mawardi, Marmiati
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.394 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1739

Abstract

This study aims to find out the general description of the sakinah family, the pattern of sakinah family coaching, and the community response to the development of sakinah Family in Salatiga City with the target of community research in Argomulyo District. This research is descriptive with qualitative approach. One of the reseach objects was Uswatun Khasanah  from Pamot village, Noborejo Sub-district, originally classified as pre-sakinah. Findings of this study stated that guidance given by KUA (religious officers) in Argomulyo could not reach maximum level because it only served people more with general guidance in the form of religious sermons than in the form of practical skills; while people saw a family could not be justified as ideal unless it meets both spiritual and material needs. Therefore, it is recommended that the Ministry of Religious Affairs revisit its concept of Islamic ideal family, increase the funds for the guidance in order to give better services to more people, and make a good relationship with other elements of regional institutions, religious leaders and public figures.---Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang keluarga sakinah,  pola pembinaan keluarga sakinah, dan Respons masyarakat terhadap pembinaan Keluarga sakinah di Kota Salatiga dengan sasaran penelitian masyarakat di Kecamatan Argomulyo. Penelitian ini bersifat diskriptif dengan pendekatan kualitatif. Salah satu kelompok binanan keluarga pra sakinah adalah Uswatun Khasanah, Dusun Pamot, Kelurahan Noborejo, semula tergolong  pra sakinah. Pasca Pembinaan ada kesadaran dalam masyarakat  untuk mewujudkan kehidupan yang agamis, mengalami peningkatan dibidang keagamaan maupun perekonomian. Perubahan tersebut karena keikutsertaan dalam kegiatan pengajian dan faktor perubahan lingkungan. Keberhasialan ini tidak lepas dari peran penyuluh dan tokoh agama maupun tokoh masyarakat setempat. Pembinaan  masih bersifat umum dalam bentuk pengajian, pembinaan ketrampilan belum banyak dilakukan. Pembinaan keluarga sakinah yang dilakukan KUA Argomulyo belum  maksimal. Kementrian Agama perlu perlu dipertegas konsep keluarga sakinah disesuaikan dengan kondisi mayarakat dan perlu menambah alokasi dana pembinaan keluaraga agar bisa menjangkau masyarakat luas dan perlu membangan kerjasama dengan Pemda,tokoh agama dan tokoh masyarakat
SANKSI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF FIQIH JINAYAT Aziz, M. Wahib
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.25 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1735

Abstract

Islamic Shari'ah functioned by God as a deterrent to evil. Jurisprudence of Jinayat in Islamic law recognizes three kinds of punishment for a crime committed by a person; Qishah, hudud and ta'zir. The determination of punishment is not merely a revenge, but rather a goal to create a deterrent effect or shock to create a calm and peaceful society situation as the message contained in the word hayah which means a peaceful life. This paper aims to reveal the concept of punishment in the crime of corruption in the eyewear of Jinayat jurisprudence. Through literature review it can be concluded that the sanction of corruption is ta'zir, which is adjusted with the judge's decision based on the level of corruption that has been done. Sanctions in the form of ta'zir vary from mild to severe enough to recall corruption with a complex social impact. The ta'zir sanctions that can be given to the perpetrators of corruption are; Imprisonment, defamation, material fines to death penalty.---Syariat Islam difungsikan Allah sebagai pencegah kejahatan. Fikih Jinayat dalam syariat Islam mengenal tiga macam hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseoorang; qishah, hudud dan ta'zir. Penetapan hukuman tidak hanya sekedar pelampiasan dendam, namun lebih pada tujuan untuk menimbulkan efek jera atau shock terapy agar tercipta situasi masyarakat yang tenang dan damai sebagaimana pesan yang terkandung dalam kata hayah yang artinya kehidupan yang damai. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap konsep hukuman dalam kejahatan korupsi dalam kacamata fikih Jinayat. Melalui kajian literature dapat disimpulkan bahwa sanksi tindak pidana korupsi adalah ta’zir, yaitu disesuaikan dengan keputusan hakim berdasarkan kadar korupsi yang telah dilakukan. Sanksi berupa ta’zir ini beragam dari yang ringan hingga yang cukup berat berat mengingat korupsi membawa dampak sosial yang kompleks. Sanksi ta’zir yang bisa diberikan kepada para pelaku korupsi adalah; penjara, pencelaan, denda materi hingga hukuman mati.
TEORI KEBENARAAN DALAM PEMIKIRAN HUKUM AL-GHAZALY (1058-1111 M): Kajian FIlosofis-Metodologis Rofiq, Ahmad
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.032 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1736

Abstract

According to Al-Ghazaly, truth must be seen and placed within the framework of belief and certainty, ranging from the form of indrawy, khayaly, to beliefs that will not be influenced by any factor. Therefore, he clarifies man in the category of lay and khawas. This is so that someone does not necessarily make generalizations and make sure that someone has made a mistake. This paper will examine in fact what the theory of truth is in the thought of Al-Ghazaly’s law and how it is constructed epistemologically. The goal is to know about the theory of truth and how the methodology it developed. The study finds that according to Al-Ghazaly, the truth in legal thought, must be seen and placed within the framework of belief and certainty. The confirmed truth of religion or al-ma'lum min al-din bi-durahurah requires one to accept it with submission.---Menurut Al-Ghazaly, kebenaran harus dilihat dan diletakkan dalam kerangka keyakinan dan kepastian, mulai dari wujud indrawy, wujud khayaly, hingga keyakinan yang tidak akan dapat dipengaruhi oleh faktor apapun. Karena itu pula, ia mengklafisikan manusia pada katagori awam dan khawas. Ini dimaksudkan agar seseorang tidak merta melakukan generalisasi dan memastikan bahwa seseorang telah melakukan kesalahan. Tulisan ini akan mengkaji sesungguhnya apa teori kebenaran dalam pemikiran hukum Al-Ghazaly dan bagaimana teori tersebut dibangun secara epistemologis. Tujuannya, untuk megetahui tentang teori kebenaran dan bagaimana metodologi yang dikembangkannya tersebut. Penelitian ini menemukan, bahwa menurut Al-Ghazaly, kebenaran dalam pemikiran hukum, harus dilihat dan diletakkan dalam kerangka keyakinan dan kepastian. Kebenaran yang telah dipastikan dari agama atau al-ma'lum min al-din bi-dlarurah menuntut seseorang wajib menerimanya dengan ketundukan.
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN K.H. ABDUL WAHAB CHASBULLAH TERHADAP LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU) Masfiah, Umi
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.881 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1737

Abstract

This article is a study of renewal thinking of KH Abdul Wahab Chasbullah towards the birth of NU. It uses historical approach/method. The result of the discussion stated that K.H. Abdul Wahab Chasbullah is a qualified kiai. He had studied at Pesantren Tambakberas, Jombang, Langitan Tuban, Mojosari Nganjuk, Cepaka, Bangkalan, Tebu Ireng untul Mecca in the early 20th century. In the early 20th century, modernist ideas of reform were appearing in Mecca. These renewal ideas fostered the idea of renewal within Abdul Wahab. Upon his return from Makkah, he established the study institute Taswirul Afkar with K.H. Mas Mansur, educational institution Nahdhatul Wathan with K.H. Ahmad Dahlan, and Nahdlatut Tujjar in cooperation with K.H. Hasyim Ash'ari. The establishment of these three institutions has reflected the thinking of K.H. Abd Wahab Chasbullah towards the birth of Nahdlatul Ulama (NU).---Artikel ini merupakan study tentang pemikiran pembaharuan K.H. Abdul Wahab Chasbullah terhadap lahirnya NU, menggunakan metode pendekatan sejarah. Hasil pembahasan menyatakan bahwa K.H. Abdul Wahab Chasbullah seorang kiai yang mumpuni. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Tambakberas, Jombang, Langitan Tuban, Mojosari Nganjuk, Cepaka, Bangkalan, Tebu Ireng hingga ke tanah suci Makkah awal abad ke-20. Awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan kaum modernis sedang berlangsung di Makkah. Ide-ide pembaharuan ini menumbuhkan gagasan pembaharuan dalam diri Abdul Wahab. Sepulangnya dari Makkah, ia mendirikan lembaga kajian Taswirul Afkar bersama K.H. Mas Mansur, lembaga pendidikan Nahdhatul Wathan bersama K.H. Ahmad Dahlan, dan koperasi Nahdlatut Tujjar bersama K.H. Hasyim Asy’ari. Berdirinya ketiga lembaga tersebut telah merefleksikan pemikiran pembaharuan K.H. Abd Wahab Chasbullah terhadap lahirnya Nahdlatul Ulama (NU).
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN K.H. ABDUL WAHAB CHASBULLAH TERHADAP LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU) Umi Masfiah
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.881 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1737

Abstract

This article is a study of renewal thinking of KH Abdul Wahab Chasbullah towards the birth of NU. It uses historical approach/method. The result of the discussion stated that K.H. Abdul Wahab Chasbullah is a qualified kiai. He had studied at Pesantren Tambakberas, Jombang, Langitan Tuban, Mojosari Nganjuk, Cepaka, Bangkalan, Tebu Ireng untul Mecca in the early 20th century. In the early 20th century, modernist ideas of reform were appearing in Mecca. These renewal ideas fostered the idea of renewal within Abdul Wahab. Upon his return from Makkah, he established the study institute Taswirul Afkar with K.H. Mas Mansur, educational institution Nahdhatul Wathan with K.H. Ahmad Dahlan, and Nahdlatut Tujjar in cooperation with K.H. Hasyim Ash'ari. The establishment of these three institutions has reflected the thinking of K.H. Abd Wahab Chasbullah towards the birth of Nahdlatul Ulama (NU).---Artikel ini merupakan study tentang pemikiran pembaharuan K.H. Abdul Wahab Chasbullah terhadap lahirnya NU, menggunakan metode pendekatan sejarah. Hasil pembahasan menyatakan bahwa K.H. Abdul Wahab Chasbullah seorang kiai yang mumpuni. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Tambakberas, Jombang, Langitan Tuban, Mojosari Nganjuk, Cepaka, Bangkalan, Tebu Ireng hingga ke tanah suci Makkah awal abad ke-20. Awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan kaum modernis sedang berlangsung di Makkah. Ide-ide pembaharuan ini menumbuhkan gagasan pembaharuan dalam diri Abdul Wahab. Sepulangnya dari Makkah, ia mendirikan lembaga kajian Taswirul Afkar bersama K.H. Mas Mansur, lembaga pendidikan Nahdhatul Wathan bersama K.H. Ahmad Dahlan, dan koperasi Nahdlatut Tujjar bersama K.H. Hasyim Asy’ari. Berdirinya ketiga lembaga tersebut telah merefleksikan pemikiran pembaharuan K.H. Abd Wahab Chasbullah terhadap lahirnya Nahdlatul Ulama (NU).
DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA PENGANUT ISLAM ABOGE DENGAN UMAT ISLAM LAINNYA DI KABUPATEN BANYUMAS Ahmad Sodli
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.718 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1738

Abstract

This article is a study of the relationship between Islam Aboge with other Muslims. There is a significant difference between the two groups, namely the calculation of the date, month and year. The Islamist Aboge uses the Aboge Almanac which is not the same as the Hijri almanac. The implication is the determination of Eid al-Fitr and Eid al-Adha, which is never in conjunction with Muslims in general, either using the method of rukyat or hisab. However, their relationship remains harmonious. The relationship between the two is seen in the activities of worship and social life. They understand each other and understand their beliefs. The interactions between Aboge adherents and and other Muslims take places in many sites, such as village hall and fields. Factors supporting the harmonious relationship between the two groups are religious understanding, joint activities, and tolerance.---Artikel ini merupakan kajian tentang hubungan antara aliran Islam Aboge dengan umat Islam lainnya. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara dua kelompok tersebut, yaitu mengenai parhitungan tanggal, bulan dan tahun. Aliran Islam Aboge menggunakan Almanak Aboge yang tidak sama dengan almanak Hijriah. Implikasinya, penentuan Hari  Raya Idul Fitri dan Idul Adha tidak pernah bersamaaan waktunya dengan umat Islam pada umumnya, baik yang menggunakan metode perhitunga rukyat atau hisab. Namun begitu, hubungan mereka tetap harmonis. Hubungan antara keduanya terlihat pada kegiatan ibadah, sosial keagamaan, dan sosial kemasyarakatan. Mereka sudah saling mengerti dan memahami keyakinan masing-masing. Tempat yang sering menjadi ajang interaksi antara penganut aliran Aboge dan masyarakat diluar Aboge yaitu tempat-tempat yang dipakai untuk kegiatan bersama, seperti balai desa, pendopo RT atau RW dan sawah atau ladang. Faktor pendukung hubungan yang harmonis antara kedua kelompok tersebut, antara lain paham keagamaan, kegiatan bersama, dan toleransi.
MEMAHAMI KEMBALI PEMAKNAAN HADIS QUDSI Abdul Fatah Idris
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (329.732 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1734

Abstract

The scholars of hadith have different viewpoints in understanding the meaning of hadith Qudsi. The differences are affected by understanding of the concept of hadith Qudsi that is the the word of Allah conveyed through the words of the Prophet Muhammad. However, Hadith Qudsi is not like the Qur'an. This article will briefly show an understanding of hadith Qudsi and the Qur'an; and hadith Qudsi and Hadith Nabawi. The author agree with a view of the scholars of hadith who says that, the Hadith Qudsi is a special Hadith verbalized by Prophet both meaning and pronunciation. Therefore, there are no differences between Hadith Qudsi and the sayings of the Prophet in general. The Prophetic Hadith is classified into authentic hadith, hasan and da’eef; can also be found in hadith Qudsi. There may be some differences, in which Hadith Qudsi is not wider than Hadith Nabawi. Hadith Qudsi is not direct words of God, but only the ideas and then verbalized by the prophet himself.---Para ulama hadis memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami makna hadits Qudsi. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman konsep hadis Qudsi yaitu firman Allah yang disampaikan melalui firman Nabi Muhammad SAW. Namun, Hadis Qudsi tidak seperti Alquran. Artikel ini akan secara singkat menunjukkan pemahaman tentang hadits Qudsi dan Alquran; Dan hadis Qudsi dan Hadis Nabawi. Penulis setuju dengan pandangan para ulama hadis yang mengatakan bahwa, Hadis Qudsi adalah Hadis khusus yang diucapkan secara verbal oleh Nabi baik makna maupun pengucapannya. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara Hadis Qudsi dan perkataan Nabi pada umumnya. Hadis Nabi diklasifikasikan ke dalam hadits, hasan dan da'eef yang otentik; Bisa juga ditemukan dalam hadis Qudsi. Mungkin ada beberapa perbedaan, di mana Hadis Qudsi tidak lebih luas dari Hadis Nabawi. Hadits Qudsi bukanlah kata-kata langsung dari Tuhan, tapi hanya gagasan dan kemudian diucapkan secara verbal oleh nabi sendiri.
KELUARGA SAKINAH: KONSEP & POLA PEMBINAAN Marmiati Mawardi
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.394 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.2.1739

Abstract

This study aims to find out the general description of the sakinah family, the pattern of sakinah family coaching, and the community response to the development of sakinah Family in Salatiga City with the target of community research in Argomulyo District. This research is descriptive with qualitative approach. One of the reseach objects was Uswatun Khasanah  from Pamot village, Noborejo Sub-district, originally classified as pre-sakinah. Findings of this study stated that guidance given by KUA (religious officers) in Argomulyo could not reach maximum level because it only served people more with general guidance in the form of religious sermons than in the form of practical skills; while people saw a family could not be justified as ideal unless it meets both spiritual and material needs. Therefore, it is recommended that the Ministry of Religious Affairs revisit its concept of Islamic ideal family, increase the funds for the guidance in order to give better services to more people, and make a good relationship with other elements of regional institutions, religious leaders and public figures.---Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang keluarga sakinah,  pola pembinaan keluarga sakinah, dan Respons masyarakat terhadap pembinaan Keluarga sakinah di Kota Salatiga dengan sasaran penelitian masyarakat di Kecamatan Argomulyo. Penelitian ini bersifat diskriptif dengan pendekatan kualitatif. Salah satu kelompok binanan keluarga pra sakinah adalah Uswatun Khasanah, Dusun Pamot, Kelurahan Noborejo, semula tergolong  pra sakinah. Pasca Pembinaan ada kesadaran dalam masyarakat  untuk mewujudkan kehidupan yang agamis, mengalami peningkatan dibidang keagamaan maupun perekonomian. Perubahan tersebut karena keikutsertaan dalam kegiatan pengajian dan faktor perubahan lingkungan. Keberhasialan ini tidak lepas dari peran penyuluh dan tokoh agama maupun tokoh masyarakat setempat. Pembinaan  masih bersifat umum dalam bentuk pengajian, pembinaan ketrampilan belum banyak dilakukan. Pembinaan keluarga sakinah yang dilakukan KUA Argomulyo belum  maksimal. Kementrian Agama perlu perlu dipertegas konsep keluarga sakinah disesuaikan dengan kondisi mayarakat dan perlu menambah alokasi dana pembinaan keluaraga agar bisa menjangkau masyarakat luas dan perlu membangan kerjasama dengan Pemda,tokoh agama dan tokoh masyarakat

Page 1 of 2 | Total Record : 12